Senin, 14 Desember 2009

CITA-CITA PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

(OLEH; SUARDIN)

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembangunan peradaban suatu bangsa, hal ini sesuai kutipan pasal (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berbagai kajian dibanyak negara membuktikan kuatnya hubungan antara pendidikan yang merupakan sarana pengembangan sumberdaya manusia dengan tingkat perkembangan suatu bangsa, yang ditunjukan oleh berbagai indikator ekonomi, politik dan sosial budaya. Pendidikan yang mampu memfasilitasi perubahan adalah pendidikan yang merata, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ditengah strategisnya pendidikan sebagai urat nadi pembangunan peradaban bangsa, fenomena pendidikan nasional bangsa Indonesia masih menampakkan berbagai persoalan, antara lain; kurangnya ketersediaan sumberdaya guru, rendahnya mutu pendidikan, kurangnya sarana dan prasarana belajar disekolah, tidak meratanya sarana pendidikan diseluruh wilayah Indonesia, dll.
Yahya A. Muhaimin (mantan Menteri Pendidikan Nasional RI), mengakui bahwa pendidikan nasional bangsa Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan penting, yaitu: (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, (3) dan masih lemahnya manajemen pendidikan, disamping belum terwujudnya keunggulan dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi dikalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antar wilayah geografis, yaitu antara perkotaan dan pedesaan, antara Kawasan Timur Indonesia (KTI), Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antar gender.
Dari beberapa permasalahan pendidikan tersebut, kita ketahui bahwa pada prinsipnya masalah pendidikan yang paling menonjol adalah tidak adanya pemerataan pelayanan pendidikan antara wilayah kota dengan pedesaan. Untuk mengatasi hal tersebut, kini pemerintah mencetuskan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Kebijakan ini dianggap oleh pemerintah adalah sebagai solusi tepat untuk mengatasi kompleksitas permasalahan sistem pendidikan nasional Indonesia. Namun, kebijakan ini justru menjadikan polemik yang cukup kontroversial dikalangan pemerhati pendidikan dan masyarakat karena dinilai bahwa UU BHP merupakan wujud adanya liberalisasi pendidikan di Indonesia. Liberalisasi pendidikan dimaksudkan adalah dimana pengelolaan pendidikan dibuka seluas-luasnya kepada pihak swasta, sementara peran atau tanggung jawab pemerintah akan pengelolaan pendidikan sangat kurang dan bahkan hampir tidak ada.
Selain itu wujud lain dari berlakunya UU BHP adalah adanya desentralisasi pendidikan, khususnya bagi pendidikan dasar dan menengah. Tujuan utama desentralisasi pendidikan, diantaranya yaitu; (1) pengaturan perimbangan kewenangan pusat-daerah, maksudnya daerah perlu memiliki peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah, sementara pusat mengurus hal-hal strategis pada tatanan nasional, meliputi; pengembangan kurikulum nasional, bantuan teknis, bantuan dana, monitoring, pendidikan bahasa Indonesia, pembakuan mutu, pendidikan moral dan karakter bangsa, dan pemberian kesempatan pendidikan pada kelompok masyarakat kurang beruntung, (2) penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah, maksudnya seiring dengan berlakunya otonomi daerah maka pemerintah daerah menangani sebagian besar urusan pendidikan mulai tingkat dasar hingga menengah, bahkan untuk tingkat provinsi juga meliputi sebagian urusan pengelolaan perguruan tinggi. Perluasan wewenang pemerintah daerah ini menuntut kapasitas yang lebih tinggi dari Pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan.
Dari tujuan utama desentralisasi pendidikan tersebut, maka terdapat dua hal pokok yang perlu mendapat perhatian dan kajian penting, yaitu: (1) Kebijakan perluasan dan wewenang pemerintah daerah untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah, (2) Pembukaan seluas-luasnya pengelolaan pendidikan kepada pihak swasta.
Sebelum lebih jauh membahas tentang implikasi dari berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kita coba me-reviw gejolak pendidikan selama pelaksanaan era otonomi daerah. Bila dicermati banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan pendidikan di daerah, penyimpangan dimaksud, antara lain; (1) seleksi pengangkatan PNS/guru tidak didasarkan pada kompetensi atau profesionalisme melainkan cenderung bersifat pada tindakan kolusi, korupsi, nepotisme, (2) penempatan/pemindahan guru tidak didasarkan pada asas pemerataan dan kebutuhan sekolah, (3) pembinaan karier/promosi jabatan guru tidak didasarkan pada asas kompetensi dan profesionalisme, dan lain-lain.
Keadaan tersebut diatas sejalan dengan hasil pemantauan Tim Keppres 157 tahun 2000, yaitu Tim Kerja Pusat Implementasi Otonomi Daerah, diperoleh temuan salah satunya adalah peraturan daerah dan keputusan kepala daerah kadang tidak sejalan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga membawa dampak negatif antar lain; (1) presepsi yang kurang tepat tentang kewenangan, (2) penempatan personel yang cenderung menjurus ke “daerahisme” dan tidak berdasarkan profesionalisme, (3) tidak tercerminnya prioritas pembangunan pendidikan (SDM) dalam alokasi APBD, (5) timbulnya kerancuan kewenangan antara pemerintah (pusat), propinsi, dan kabupaten/kota.
Keadaan tersebut bukan desebabkan oleh produk Undang-Undang otonomi daerah, akan tetapi disebabkan kurang mantapnya pemahaman pengelola daerah terhadap konsep otonomi daerah dan disisi lain adanya kesewenang-wenangan para pengelola daerah. Hal yang paling nampak terjadinya penindasan terhadap pendidikan adalah saat digelarnya pesta demokrasi di daerah, dimana setiap pegawai negeri sipil/guru di semua jenjang pendidikan digiring menjadi alat/mesin politik (Tim Sukses) untuk memenangkan calon tertentu. Sebagai konsekuensinya bagi PNS/guru pendukung calon pemenang mendapatkan berbagai fasilitas, antara lain; pengakatan dalam jabatan, mutasi ke dalam jabatan strategis, pengangkatan PNS/guru bagi pendukung atau keluarga pendukung dengan proses seleksi yang jauh dari aspek kompetensi/profesionalisme dan lain-lain. Dengan kata lain perhatian dan pembinaan hanya berlaku pada pendukung tanpa adanya pertimbangan kompetensi dan latar belakang pendidikan. Sebaliknya bagi PNS/guru pendukung calon yang kalah, mendapatkan perlakuan diskriminatif antara lain; pencopotan jabatan, penurunan karier, mutasi ke lokasi yang sangat terpencil dengan berdalil pemerataan, dan lain-lain.
Tindakan tersebut tentu sangat merugikan lembaga pendidikan, dimana kebijakan yang in-konstitusional dan tidak sesuai kompetensi dan profesionalisme dalam di lembaga pendidikan menyebabkan ketidakberdayaan pelaku pendidikan dalam menghadapi kekuatan politik di daerah, sehingga cita-cita akan kemajuan dan peningkatan mutu serta pemerataan pendidikan tidak akan pernah terwujud. Kebijakan tersebut tentu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 41 ayat (2) berbunyi; Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal, dan ayat (3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Pasal 43 ayat (1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam pendidikan. Pasal 44 ayat (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Untuk itulah konsep desentralisasi pendidikan perlu peninjauan dan pengkajian serta penyempurnaan secara komprehensif, terutama peraturan pengawasan penyelanggaraan pendidikan di daerah oleh pemerintah (pusat), baik terhadap pemerintah daerah maupun pihak swasta. Bila keadaan ini tidak disikapi secara serius dan profesional, maka dersentralisasi pendidikan hanya akan memperkuat kedudukan penguasa daerah dalam membangun konspirasi politik, sementara itu pendidikan terus terbelenggu dalam cengkerama politik kekuasaan sehingga tidak mempu mengemban cita-cita dan visi pendidikan nasional Indonesia. Kenyataan tersebut tentu akan mewujudkan terbentuknya veodalisme dan kapitalisme pendidikan.

AMANDEMEN UUD 45’ PRASYARAT RE-DESAIN STRUKTUR & PERAN PENYELENGGARA PEMERINTAHAN NEGARA RI

(OLEH; SUARDIN)

Gejolak reformasi tahun 1998 telah membawa dampak perubahan yang signifikan pada sistem pemerintahan Republik Indonesia, baik pemerintahan pusat dan lembaga negara, maupun pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Dalam upaya perbaikan tata pemerintahan Negara Republik Indonseia pasca gejolak reformasi tahun 1998, langkah awal yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diketuai oleh Prof. Dr.H. Amien Rais, MA., yaitu melakukan beberapa Amandemen terhadap UUD 1945.
Pasca amandemen ketiga UUD 1945, telah menuai pro-kontra. Saat itu Panitia Ad Hoc (PAH) I badan pekerja MPR baru saja menyelesaikan tugasnya yaitu menggodok amandemen rumusan keempat UUD 1945. Telah muncul reaksi keras dari beberapa LSM mengenai materi pasal-pasal yang baru diamandemen. Ironisnya protes tersebut juga ditentang oleh beberapa LSM lainnya, partai-partai, bahkan sesama anggota parlemen itu sendiri. Mereka menganggap PAH I telah membuat konstitusi baru. Pasalnya yang dilakukan PAH I bukan mengamandemen UUD, melainkan justru merombak struktur sarta sistem ketatanegaraan.
Amandemen UUD 1945 selama orde reformasi telah dihasilkan beberapa perubahan, yaitu:
1. Amandemen UUD 1945 yang Pertama, inti perubahannya adalah Pergeseran Kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat (executive heavy).
2. Amandemen UUD 1945 yang kedua, inti perubahannya adalah Pemerintahan daerah, DPR dan Kewenangannya, hak Asasi manusia, lambang negara dan lagu kebangsaan.
3. Amandemen UUD 1945 yang ketiga, inti perubahannya adalah Bentuk kedaulatan negara, kewenangan MPR, Kepresidenan, keuangan negara, kekuasaan kehakiman.
4. Amandemen UUD 1945 yang keempat, inti perubahannya adalah DPD sebagai bagian MPR, penggantian presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebuadayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD
Dari hasil amandemen UUD 1945 tersebut diatas, paling tidak telah terjadi pergeseran peran pada berbagai lembaga pemerintahan negara republik Indonesia, meliputi;
1. Terdistribusikannya kekuasaan presiden secara vertikal dan membagikan secara horinzontal.
2. Mengubah kekuasaan sentralistik kearah desentralistik.
3. Meningkatkan peran DPR melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif.
4. Mengubah struktur keanggotaan MPR dan menggunakan sistem bikameral dan pembuatan UU.
5. Mengembalikan hak atas kedaulatan rakyat dengan pemilu langsung.
6. Menata kembali sistem peradilan dan pranata lunak untuk memulihkan kepercayaan pencari keadilan.
Dengan adanya pergeseran peran lembaga pemerintahan negara RI tersebut, maka terjadi pula pergeseran struktur pemerintahan republik Indonesia, diantaranya adalah (1) pada masa Orde Baru; MPR mengakat dan memberhentikan Presiden, sedangkan pada masa Orde Reformasi Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, sementara MPR hanya melantik, (2) Pada masa Orde Reformasi; lembaga DPA dibubarkan dan dihapus dari struktur Kelembagaan Negara Republik Indonesia, selanjutnya terbentuknya lembaga-lembaga baru yang yang bertugas sesuai dengan kewenangannya masing-masing, seperti; MK, KY, KPK, dan sebagainya.
Terlepas dari ada dan tidaknya politisasi dari proses amandemen keempat UUD 1945, paling tidak lebih disebabkan oleh beberapa hal, antara lain meliputi: luas dan kuatnya kekuasaan presiden, sentralisasi pemerintahan, sistem pemerintahan tidak jelas (parlementer atau presindensial), unsur keanggotaan MPR, dan lain-lain. Hal ini, secara otomatis akan terjadi re-desain struktur kelembagaan pemerintahan Republik Indonesia. Dengan demikian dapat mempermudah pelayanan pemerintahan bagi masyarakat, memperjelas dan memperpendek jalur birokrasi serta menghilangkan kekuasaan mutlak pada satu lembaga pemerintahan tertentu.
Dari berbagai literatur manajemen organisasi banyak pembahasan tentang pentingnya desain struktur organisasi dalam upaya perbaikan dan pengembangan organisasi kearah yang lebih maju. Salah satu cara membentuk struktur organisasi adalah dengan membuat disain organisasi (organization design). Struktur organisasi diartikan sebagai cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal. Sedangkan desain organisasi sendiri merupakan pembentukan peran (roles), aktifitas pengolahan (process), dan bentuk hubungan formal (formal relationship) dalam suatu organisasi. Didalamnya, terdapat pengembangan struktur keseluruhan di dalam organisasi baik unit maupun sub-sub unitnya.
Dalam pembentukan struktur organisasi itu sendiri, ada lima prinsip dasar yang harus dimiliki oleh setiap struktur organisasi, salah satu diantaranya adalah struktur organisasi tersebut memberikan peran, tanggungjawab yang jelas serta memiliki akuntabilitas. Sementara itu terdapat enam unsur kunci utama yang perlu diperhatikan dalam merancang desain struktur organisasi, yaitu:
(1) Spesialisasi pekerjaan atau pembagian kerja untuk mendeskripsikan sampai tingkat mana tugas dalam organisasi dipecah-pecah menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah. Hakikat spesialisasi kerja adalah bahwa, bukannya keseluruhan pekerjaan dilakukan oleh satu individu, seluruh pekerjaan itu dipecah-pecah menjadi sejumlah langkah, dengan tiap langkah diselesaikan oleh individu yang berlainan. Dengan kata lain individu-individu berspesialisasi dalam mengerjakan bagian kegiatan tertentu, bukannya mengerjakan seluruh kegiatan.
(2) Departementalisasi, setelah terjadi pembagian pekerjaan melalui spesialisasi kerja, perlu dasar mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan ini sehingga tugas yang sama/mirip dapat dikoordinasikan. Cara lain untuk melakukan depatementalisasi adalah atas dasar geografi atau teritori.
(3) Rantai Komando, merupakan garis wewenang yang tidak terputus yang terentang dari puncak organisasi ke tingkat terbawah dan memperjelas proses pertanggung jawaban.
(4) Rentang Kendali; merupakan sejumlan bawahan yang dapat diatur manajer secara efektif dan efisien. Rentang kendali yang lebih lebar akan lebih efisien dalam hal biaya, tetapi pada pihak lain rentang lebih lebar akan mengurangi kefektifan. Sementara rentang kendali yang kecil memiliki keuntungan, yaitu dengan menyelenggarakan rentanng kendali dari lima atau enam karyawan, manajer dapat menyelenggarakan pengendalian yang ketat.
(5) Sentralisasi dan Desentralisasi; Istilah sentralisasi mengacu pada sampai tingkat mana pengambilan keputusan dipusatkan pada titik tunggal dalam organisasi. Lazimnya jika dikatakan bahwa jika manajemen puncak mengambil keputusan utama organisasi dengan sedikit atau tanpa masukan dari personil tingkat lebih bawah. Sebaliknya, makin banyak personil pada tingkat bawah memberikan masukan atau diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, maka disebut desentralisasi. Dalam organisasi terdesentralisasi, merupakan tindakan dapat diambil lebih cepat untuk memecahkan masalah, lebih banyak orang memberikan masukan dalam pengambilan keputusan, dan makin kecil kemungkinan para bawahan merasa diasingkan dari mereka yang mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan tugas mereka.
(6) Formalisasi; mengacu pada tingkat dimana pekerjaan di dalam organisasi itu dibakukan. Jika tugas sangat diformalkan, pelaksanaan tugas itu mempunyai kuantitas keleluasaan yang minimum apa yang harus dikerjakan, kapan harus dikerjakan, dan bagaimana harus mengerjakannya. Formalisasi yang tinggi, disitu terdapat uraian jabatan yang tersurat, banyak aturan organisasi dan prosedur yang terdefinisi dengan jelas yang meliputi proses kerja dalam organisasi. Bila formalisasi itu rendah, perilaku kerja relatif tidak terprogram dan para karyawan mempunyai banyak kebebasan untuk menjalankan keleluasaan dalam kerja.
Berangkat dari fakta polemik amandemen UUD 45 dan berbagai literatur keorganisasian diatas, jelas bahwa dalam sistem pemerintahan dan ketatangaraan juga diperlukan re-desain organisasi sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman. Selama 32 tahun masa pemerintahan orde baru, sistem pemerintahan bangsa ini sangat monoton. Untuk itu bila kita menginginkan bangsa Indonesia yang maju dan berdaya saing tinggi, maka diperlukan pembaharuan dan perbaikan sistem pemerintahan yang berkesinambungan, dan sebagai langkah awal dari pembaharuan tersebut adalah amandemen UUD 45 sebagai landasan konstitusional dalam tata kelola pemerintahan.






DAFTAR PUSTAKA

Gibson, James L. et.all. Organizations. 12ed. Mc Graw Hill. 2006

Robbins, Sthephen P. Organizational Behavior. (terjemahan). Jakarta: Gramedia, 2003.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amandemen Pertama. 1999.

----------------------------------, Amandemen Kedua. 2000

----------------------------------, Amandemen Ketiga. 2001

----------------------------------, Amandemen Keempat. 2002